“Saya bukan siapa-siapa, bukan alumni, tapi apa yang saya alami hingga saat berkat jasa Pater. Saya apresiasi dan bangga dengan alumni dengan kehadiran yayasan alumni. Jiwa St. Klaus yang dimiliki Pater Wasser ini pun terus menular untuk orang lain, memperhatikan orang lain. Di sisa hidupnya, ia mau menyaksikan kelanjutannnya karyanya. Banyak karyanya yang tak terurus dengan baik karena tidak ada yang mengurus dengan baik. Harapan satu-satunya adalah para alumni ”
Giorgio Babo Moggi, Alumni SMP (1992) SMA (1995)
KUPANG, DELEGASI.COM– Pater Ernst Wasser SVD bukan nama yang asing. Di Manggarai Raya, Pater Wasser, demikian ia biasa disapa, merupakan sosok “bupati Manggarai” bayangan kala itu – sebelum Kabupaten Manggarai dimekarkan menjadi Manggarai Barat dan Manggarai Timur.
Julukannya sebagai “bupati bayangan”, tentu ada alasan. Selain sebagai imam yang bertugas di Paroki Wangkung, ia terjun langsung pada karya-karya kemanusiaan. Dimulai dari bidang pendidikan, kemudian ia mengambil bagian pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan air minum. Maka tak heran, ia sangat populis sebagai tokoh pembangunan.
Karyanya tak terhitung banyaknya. Entah berapa ribuan masyarakat yang menikmatinya. Ia membangun gereja, juga membangun masjid. Salah satu karya yang menjadi warisannya hingga kini adalah lembaga pendidikan SMP/SMA St. Klaus di Kuwu dan Werang. Rahim almater ini telah melahirkan generasi unggul. Mereka tersebar di seluruh pesolok bumi, dengan berbagai panggilan hidup, baik sebagai biarawan-biarawati, guru, ASN dan sebagainya.
Khusus di sektor pendidikan, Pater Wasser menghadirkan model pendidikan unik, “semi seminari” sebagai tempat persemaian biarawan, biarawati serta rohaniwan Katolik. Disebut “semi-seminari” karena siswa sekolah ini terdiri-dari pelajar putra dan putri (sekolah campuran) bukan single-sex schools seperti seminari pada umumnya.
Pemilihan “St. Klaus” sebagai nama lembaga pendidikan bentukannya terinspirasi oleh kisah kesalehan St. Nikolaus von Flue dari negeri asalnya, Swiss. Masyarakat Swiss lebih mengenalnya dengan nama St. Klaus. Nama St. Klaus inilah bermakna “dwitunggal” – satu nama sekaligus sebagai nama lembaga pendidikan sekaligus pelindungnya seperti kebanyakan lembaga pendidikan Katolik. Dan, Pater Wasser sangat mencintai dan mengagumi tokoh suci ini.
Dalam kalender Gereja Katolik, pesta St. Nikolaus dari Flue dirayakan setiap tanggal 25 September. Tak heran bila setiap tanggal tersebut tiba, baik di Kuwu maupun di Werang, selalu merayakannya secara meriah. Para alumnus pun merayakannya di tempat tugas dengan caranya yang berbeda.
Pada HUT ke-38 tahun ini, di tengah situasi pandemi Covid-19, pesta pelindung dirayakan secara sederhana melalui media zoom. Tak banyak rangkaian acara selain pengantar dari host, sapaan Pater Wasser, selayang pandang Yayasan Bhakti Alumni Pendidikan Pater Wasser, sapaan dari para guru dan alumni, serta doa dan berkat dari Pater Andi MI. Pada momentum kali ini, panitia memberikan ruang waktu yang leluasa untuk Pater Wasser.
Usianya menua, fisiknya semakin rentan, dan suaranya melemah tetapi bara semangat dan optimisme tak pernah padam seperti Wasser yang dikenal dulu. Pater mengawali sapaannya dengan mengajak segenap alumni untuk melihat ke belakang, keluarganya dan perjalanan imamatnya dari Swiss hingga bumi Congka Sae (Manggarai).
Pater Wasser lahir pada tanggal 15 Juni 1927 di Swiss. Ia berasal dari keluarga yang besar. Salah satu saudarinya mengabdikan diri sebagai seorang biarawati. Pada usia 18 tahun (1947) ia hadir pada upacara kanosasi Santu Klaus di Roma. Dua tahun kemudian (1949), Wasser muda memutuskan masuk novisiat SVD (Serikat Sabda Allah) di Sankt Augustin – Jerman. Masa pendidikan seminarinya berjalan mulus hingga ia ditahbiskan menjadi imam Katolik pada tahun 1954. Pada tahun 1968, Pater Wasser dipercayakan oleh pimpinan SVD sebagai pemimpin Rumah Misi Maria Hilf Steinhausen Swiss dan 3 tahun kemudian (1971), ia diangkat sebagai Provinsial SVD di Swiss. Sebagai umat Gereja Katolik dan warganegara Swiss, Pater Wasser harus patuh pada tanah kelahirannya, maka ia pun diutus sebagai pastor tentara Swiss untuk mengikuati perziarahan internasional tentara-tentara Eropa di Roma (1976).
Setahun kemudian, Pater Wasser mendapat tantangan baru menjadi misionaris di negeri asing atas permintaan Mgr. Vitalis Jebarus, Uskup Ruteng kala itu. Negeri yang jauh dari tanah leluhur dan keluarganya. Keterasingan negeri tersebut lantas tak membuat semangat panggilannya mengendur, sebaliknya panggilan imamatnya kian membara. Bersama Sang Imam Agung, Yesus Kristus, ia menyebrangi samudera dan benua. Spiritualitas St. Klaus yang merasukinya semakin memantapkan langkahnya menuju Indonesia, ladang misi yang akan digarapnya.
Pater Wasser tiba di Jakarta pada tanggal 8 Februari 1977. Dari Jakarta menuju Manggarai. Pada 1979, Mgr. Vitalis Jebarus menugaskan Pater Wasser sebagai Pastor Paroki Wangkung dan tugas diperbantukan pada Dioses Regional P. Paulus Rahmat SVD. Di usianya yang ke-93, tahun 2020, Uskup Ruteng Mgr. Dr. Siprianus Hormat membebaskantugaskan Pater Wasser dari segala tugas pastoral. Kini, ia menjalani masa pensiunnya di Wangkung, tempat dimana ia memulai garapannya sebagai misionaris, 44 tahun silam.
Pada kesempatan ini pula, Pater Wasser mengenang pribadi-pribadi yang sangat berjasa dalam hidupnya, panggilan dan karyanya misinya di Manggarai. Selain keluarga sebagai seminari kecil, Wasser menyebut nama almarhum Mgr. Vitalis Jebarus sebagai tokoh kunci kedatangannya ke Indonesia – tepatnya di Manggarai. Dalam kapasitasnya sebagai Uskup Ruteng pada waktu itu, ia mengundang Pater Wasser untuk bermisi di Manggarai. Kedatangannya bukan utusan SVD tetapi karena diminta/diundang oleh Mgr.Vitalis. Kepada Pater Wasser, Mgr. Vitalis menyampaikan bahwa orang Manggarai sudah beragama tetapi mereka masih seperti di wasiat (Perjanjian Lama). Ia menyampaikan sangat berterima kasih kepada mantan Uskup Ruteng dan Denpasar ini. Pula ada Pater Geradus Mezemberg SVD, misionaris asal Belanda yang berkarya di Manggarai. Sosok yang kedua ini, memiliki jasa besar bagi gereja lokal (Manggarai), ia pensiun sambil mengajar Agama Katolik di SMP dan kemudian wafat di Kuwu.
Pribadi yang terakhir ini, menurutnya, ia layak dikanosisasi karena karya pengabdiannya dan jasa besar terhadap perkembangan Gereja Katolik lokal dan sejagad. Ia adalah Mgr. Wilhelmus Van Bekkum asal negeri Kincir Angin. Sang Uskup yang turut mengambil peran dalam reformasi tubuh Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II dengan mengusulkan inkulturasi kedalam tata perayaan misa Gereja Katolik. Jejak perjuangannya itu terwarisi hingga kini sehingga kehadiran Gereja yang membumi dan adapatif terhadap kearifan-kearifan budaya lokal – musik dan tarian khususnya.
Pada kesempatan tersebut, dihadapan Pater Wasser, segenap alumni St. Klaus sejagad, yang diwakili oleh Max Adil, memaparkan selayang pandang pembentukan yayasan. Nama yayasan tersebut adalah Yayasan Bhakti Alumni Persekolahan Pater Wasser. Pembentukan yayasan merupakan cita-cita bersama. Max dalam paparannya, dengan terang benderang menyatakan bahwa kehadiran yayasan ini merupakan pergulatan pribadi-pribadi yang berkehendak baik dan memiliki gagasan besar untuk memberikan kembali apa yang mereka telah terima dari Pater Wasser. Alumni akui tak bisa memberi semua apa yang telah diterima. Paling tidak alumni memiliki tanggungjawab moril agar semangat Pater Wasser bisa hidup abadi, berkembang dan menjangkau banyak orang. Secara sederhana, apa yang alumni alami, dialami oleh orang lain. Dasar itu, nama yayasan ini menggunakan nama Pater Wasser.
Dari layar tampak wajah Pater Wasser sontak cerah dan senantiasa menampakkan senyum bahagia. Kebahagiaannya bukan karena namanya disematkan sebagai nama yayasan melainkan harapan dan cita-citanya diteruskan oleh anak didiknya. Pembentukan yayasan ini tak hanya menjadi pergulatan bathin anak didik pula pergulatan bathinnya. Ini terungkap dari pengakuan bapak guru Stefanus Notan yang beberapa kesempatan bertemu Pater Wasser dan mendengar curahan hati Pater Wasser secara langsung.
“Saya bukan siapa-siapa, bukan alumni, tapi apa yang saya alami hingga saat berkat jasa Pater. Saya apresiasi dan bangga dengan alumni dengan kehadiran yayasan alumni. Jiwa St. Klaus yang dimiliki Pater Wasser ini pun terus menular untuk orang lain, memperhatikan orang lain. Di sisa hidupnya, ia mau menyaksikan kelanjutannnya karyanya. Banyak karyanya yang tak terurus dengan baik karena tidak ada yang mengurus dengan baik. Harapan satu-satunya adalah para alumni.”
Dialog pun semakin alot. Pater Wasser pun enggan meninggalkan ruang virtual meskipun host Ferdin Seriang berkali-kali mengijinkan Pater Wasser untuk keluar ruang virtual agar bisa beristirahat. Pater tak bergeming dari layar. Wajahnya tampakkan senyum, bahagia, haru – berbaur di dalamnya. Mengutip pernyataan guru kami, Stefanus Nota, “Di sisa hidupnya, ia mau menyaksikan kelanjutannnya karyanya.” Itu terjadi malam ini. Ia telah mendengarkan tekad alumni untuk mendirikan yayasan. Tekad itu telah sedang berproses dan pastinya berbuah karena didalamnya mengalir semangat misioner Pater Wasser, spiritualitas St. Klaus, dan Yesus Sang Guru Sejati.
Kebahagiaan Pater Wasser tak terungkap oleh kata-kata tetapi sorot mata dan garis-garis wajah mengatakannya. Ia seolah tak mau kalah semangat dengan alumni, sesekali ia menyela dan menyatakan sesuatu yang terlewatkan pada paparan awal. Kepastian sebuah yayasan sudah terjawab malam ini, tetapi Pater Wasser masih memiliki sebuah mimpi sederhana agar permohonannya sebagai Warga Negara Indonesia dikabulkan oleh Presiden Joko Widodo.
Ia tak hentinya berdoa, tentu ia mohon doa dari kita semua agar dirinya dapat diterima sebagai warga negara Indonesia. Permohonannya bukan tanpa alasan. Karya bhakti bagi negeri ini adalah bukti nyata kecintaannya pada negeri ini. Dialah misionaris sejati – mau hidup dan mati di ladang misi yang dicintainya.
“Semua ini sangat bergantung pada Presiden Jokowi,” tuturnya lirih dan bikin hati alumni yang mendengarnya terenyuh.
Permohonan peralihan status warga negara Pater Wasser sedang berproses. Dokumen-dokumen sudah diurus oleh para alumnus St. Klaus di Jakarta. Semoga dengan diterbitkannya status kewarganegaraan Pater Wasser kelak menjadi kado terindah untuknya di penghujung tahun ini. Terimakasih Pater untuk semua jasamu bagi alumni. (*)
Penulis adalah Giorgio Babo Moggi, alumni SMP (1992) SMA (1995)