“Riawale adalah sebuah pusat perkampungan yang terletak di puncak Ile Boleng. Pusat perkampungan yang dibentuk oleh Kewae dan Kelake bersama keturunannya ini, tidak ditemukan lagi tanda-tanda sebagai sebuah bekas perkampungan”
Dr.Keron A.Petrus
Dalam seri ini (keempat) – ‘Mengenal Lebih Dekat Ekologi Budaya Masyarkat Adonara’- masih diuraikan sejarah Adonara dalam pemahaman budaya Lamaholot-Adonara.
Bagi pembaca yang baru pertama kali membaca tulisan berseri ini, perlu mengetahui pula bahwa yang namanya sejarah akan terdapat beragam versi. Setiap versi tentu mempunyai alur sendiri, dan menjadi tanggung jawab penulisnya (penutur).
Maka prinsip menanggapi beragam versi, bukan dengan cara menghakimi, tetapi dengan cara berdialog. Melalui proses inilah dapat melahirkan sebuah alur sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tataran budaya Lamaholot-Adonara.
Meninggalkan Perkampungan Riawale: Awal Penyebaran Garis Keturunan Kewae Sedo Bolen dan Kelake Ado Pehan
Riawale adalah sebuah pusat perkampungan yang terletak di puncak Ile Boleng. Pusat perkampungan yang dibentuk oleh Kewae dan Kelake bersama keturunannya ini, tidak ditemukan lagi tanda-tanda sebagai sebuah bekas perkampungan.
Tidak diketahui dengan pasti kapan perkampungan Riawale benar-benar dikosongkan (tanpa penghuni).
Warisan tutur menegaskan perkampungan Riawale tidak ditinggalkan secara serentak, tetapi dilakukan secara bertahap. Sebagian dari warga memilih pindah dan bergabung dengan warga di kampung-kampung yang sudah terbentuk di kaki Ile Boleng.
Sebagian lainnya, membentuk kelompok sendiri dekat perkampungan yang ada.
Dalam perkembangan, membentuk kampung dengan nama suku atau nama lainnya untuk mengenang kehidupan bersama di bekas perkampungan Riawale atau pun tempat-tempat tertentu di puncak Ile Boleng.
Meskipun menyebar ke sejumlah perkampungan, tetapi sebuah ungkapan yang masih kuat dalam ingatan masyarakat Adonara: rae ile lodo hau (datang/berasal dari ile). Ungkapan ini menandakan identitas garis keturunan Kewae dan Kelake tetaplah hidup dalam keseharian mereka.
Tite ana tana naen, tana tukan beliwo lodo
Ake pana, ake peke uli alan lango bur’a welule e’pan
Uhurek tuen beleba leok
Lungu lodo oneke hekato naran, hekato suku, di-go Kia Soba Sayang kodo koi, kodo denge. Nuku ake gelupan, tite ana lewo etep, welule e’pan (amanat Leluhur)
(Inti amanat ini adalah: kita ini anak dari tanah ini, jangan tinggalkan tempat [rumah] ini. Jika ditinggalkan, dan ingin mengubah nama suku, pindah suku, saya Kia Soba Sayang dengar saja, terima saja, tapi jangan lupa kita berasal dari tanah ini)
Warisan tutur menjelaskan, penyebaran awal garis keturunan Kewae dan Kelake, sebagai berikut:
Keturunan Ado Bala (suku Tika Tukan), memilih migrasi (pindah) ke Lamahelan. Untuk keturunan Balawa Lema (suku Wai Jara) memilih migrasi ke Hinga, Lamapaha dan Redon Tena.
Selanjutnya, keturunan Ola Lamanepa (suku Kayo Puke) menyebar ke Witihama, Lama Bunga dan beberapa yang lainnya ke Hinga. Keturunan Beda Geri Niha (suku Wai Bao) pindah ke Niha One, Suku Tokan dan Kiwang One.
Keturunan Boro Bisak Pati (suku Kayo Puhun) memilih pindah ke Lamahelan, Lewopao, Lamanele, Lama Bayung, dan sebagiannya lagi ke Dua Muda.
Sementara itu, keturunan Nuka Masan Dai (bergabung dalam suku Wai Jara) memilih pindah ke Lama Bolang, Terong Kiwan, Dua Muda.
Keturunan Sina Sabon Mado (bergabung dalam suku Tika Tukan) menyebar ke Ado Bala, Lamalota, Wato Waen, Lamahala.
Demikianlah penyebaran awal warga perkampungan Riawale (rae ile lodo hau). Pada saat ini, pernyebarannya tidak dapat lagi terindentifikasi.
Setelah hidup bersama warga di kampung-kampung sebagaimana di atas, ada yang memilih pindah lagi ke kampung lain dengan pola yang sama.
Ada yang bergabung dengan kampung yang sudah terbentuk, tetapi ada juga memulainya dengan cara hidup berkelompok.
Dalam perkembangan berubah menjadi sebuah perkampungan. Pada saat ini, semuanya sudah menjadi satu dan hidup bersaudara—Adonara.
Sebagaimana dalam seri-seri sebelumnya, saya selalu mengajak, mari kita duduk dan bicara dari hati ke hati demi generasi Adonara. “Sejarah adalah Identitas, karena itu semua orang merasa berkepentingan terhadapnya”.
***
Penulis adalah Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Nusa Tenggara Timur