Borong, Delegasi.com– Dingin dan kabut menyelimuti kemah di lapangan sepak bola Sekolah Dasar Katolik Waekekik, Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dirilis kompas.com, Selasa (1/8/2017), Sekolah Dasar Katolik Waekekik merayakan pesta yang ke-54 tahun. Saat suasana hening yang diselimuti dingin dan kabut, tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya penari dari Sekolah Dasar Inpres Nunur, Desa Mbengan dari berbagai sudut panggung di tempat syukuran tersebut.
Penari yang membawakan ritual Umbiro adalah siswa dan siswi Sekolah Dasar Inpres Nunur. Untuk atraksi Umbiro memerlukan 30 orang penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.Secara perlahan-lahan dengan hentakan kaki di tanah dipadukan dengan kain selendang memberikan suasana gembira kepada ribuan penonton yang memadati kemah syukuran pesta emas sekolah tersebut.
Iringan gong dan gendang serta lagu-lagu khas Manggarai Timur memberikan nuansa berbeda yang dibawakan oleh siswa dan siswi kelas tiga, empat dan lima.Hiburan yang dibawakan penari dengan meritualkan Umbiro membangkitkan ingatan tetua adat di Desa Ranakolong dan Desa Mbengan terhadap tradisi Umbiro yang diwariskan leluhur di dua desa tersebut.
Mereka membersihkan lahan di ladang untuk menanam padi didahului berbagai ritual adat yang menghormati tanah.
Orang Manggarai Timur sangat menyatu dengan alam. Segala sesuatu yang berhubungan dengan menanam berbagai jenis holtikultura selalu didahului oleh ritual adat yang menghormati alam semesta dan Tuhan Maha Pencipta.
Ada ritual Weri Mata Nii (berkat benih padi) yang diritualkan dengan darah ayam. Ada juga ritual Pasok Mata Nii (tanam benih padi dan jagung yang sudah diberkati secara adat). Ada ritual Raut Kalang (bersih rumput di sela-sela padi).
Selanjutnya ada ritual Umbiro yang dilaksanakan di pinggir ladang ketika padi mulai berisi. Ritual ini selalu dibawakan oleh para petani di Manggarai Timur, khususnya di wilayah selatan di antaranya Desa Mbengan, Desa Ranakolong, Desa Gunung, Desa Gunung Baru serta 22 desa lainnya.
Saat meritualkan Umbiro diiringi lagu-lagu yang berhubungan dengan padi. Meminta alam semesta, leluhur dan Tuhan Maha Pencipta untuk memberikan hasil yang berlimpah dan menjaga padi dari gangguan roh-roh halus.
Umbiro juga adu kemampuan antara kaum perempuan dengan laki-laki. Sebelum dilaksanakan ritual itu di pinggir ladang, terlebih dahulu dipersembahkan sesajian kepada alam, leluhur dan Tuhan Maha Pencipta dengan benda ayam, babi dan kambing serta benda-benda lainnya.
Ritual adat orang Manggarai Timur selalu berhubungan dengan alam semesta, padi, jagung, serta berbagai umbi-umbian.
Ritual ini secara alamiah dibuat leluhur orang Manggarai Timur karena pada zaman dahulu alam selalu dekat dengan manusia dan segala sesuatu berhubungan dengan alam semesta.
Maksud dari tradisi ini adalah meminta alam semesta, tanah, leluhur dan Tuhan agar buah padi panjang dan bulir-bulirnya padat dan berlimpah. Ritual ini selalu dilaksanakan di ladang-ladang masyarakat.
“Segala sesuatu yang kami lakukan selalu berhubungan ritual-ritual adat, baik dengan alam semesta maupun manusia. Kami orang adat yang selalu menghargai tradisi dan ritual-ritual yang diwariskan leluhur. Yang lebih mendalam dari berbagai ritual adat adalah ritual menghormati padi, jagung dan berbagai jenis umbi-umbian. Ada juga ritual menghormati sumber mata air yang disebut Karong Wae (ritual menghormati sumber mata air),” katanya.
Thomas mengaku bangga bahwa ritual-ritual yang berhubungan dengan padi, jagung dibuat dalam bentuk tari-tarian yang dikembangkan oleh pelajar dan guru di Sekolah Dasar Inpres Nunur, SDK Waekekik, SDI Messi dan Sekolah Menengah Atas Negeri II Kota Komba.
Berbagai ritual itu dipentaskan dalam berbagai festival budaya di tingkat kabupaten bahkan dipentaskan dalam gala dinner lomba balap sepeda internasional.
“Saya dengar bahwa tradisi Umbiro sudah terkenal di Belgia, bahkan baru-baru ini tari-tarian itu dipentaskan kepada pebalap sepeda internasional yang datang dari berbagai negara di dunia ini,” katanya.
Menurut Joman tradisi Umbiro adalah tradisi yang dilaksanakan di pinggir ladang saat padi mulai berbunga dan biasanya dilaksanakan pada bulan Maret.
“Ada sepuluh nyanyian dibawakan di antaranya Mai taung, Sai Ndereng, Api sili, Kepe Le, totok ametong, lowing, suku wela suwuk, ole nara ge, Beteng Jerek, O rure, dan Kole Ge,” katanya.
Dua syair dari sepuluh syair lagu, lanjut Joman, adalah “Kepe Le Kepe Le, Le Mori Mori Mese, tadu Lau Lau Woja Galung” artinya alam dan leluhur jaga ladang serta Tuhan Maha Pencipta memberkati padi agar berbuah melimpah.
Berikutnya “O Rue Le Mai Wela Tete, Ndo Kaka Ndewe Radi Teku Lewe” artinya semoga semua tanaman di ladang seperti padi, ubi tatas, jagung bertumbuh subur dan tidak diganggu oleh berbagai jenis burung.
Pastor John Jonga, peraih Yap Thiam Hien Award 2009 asal Kampung Nunur, Desa Mbengan saat menghadiri Pesta emas SDK Waekekik mengaku bulu kuduknya merinding saat siswa dan siswi Sekolah Dasar Inpres Nunur dan SMAN II Kota Komba mementaskan tari-tarian yang berhubungan dengan pertanian.
Jonga yang bertugas di Papua menjelaskan bahwa dirinya lahir dan dibesarkan dalam berbagai tradisi yang diwariskan leluhur dan orangtua untuk menghormati alam semesta dan Tuhan Maha Pencipta.
Pastor Daniel Ivan Darto Simamora, OFMCap kepada KompasTravel merasa bangga dan kagum dengan pementasan tarian Umbiro dan Riik Kozu yang dibawakan oleh siswa-siswi sekolah ini.
Ini membuktikan bahwa anak-anak masih menjaga dan mencintai budaya yang diwariskan leluhur orang Manggarai Timur, Flores.
“Orang Batak juga sangat menghargai budaya dan berbagai tari-tarian. Bahkan, segala aspek kehidupan orang Batak selalu berhubungan dengan adat istiadat dan ritual-ritual adat yang berhubungan dengan alam semesta,” katanya.