Wanita Bijak Harus Tahu, Istilah “Dokter Estetika” Itu Tidak Ada

Avatar photo
Wanita
Kanan-kiri: Maya Krasteva MD, PhD; Dr Syarief Hidayat, SpKK, FINSDV, FAADV; Dr Sri Ellyani, SpKK, FINSDV, FAADV; Dewi Rijah Sari(Shierine Wibawa)//foto:kompas.com

Semarang, Delegasi.com — Meski klinik kecantikan kian marak di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) mengungkapkan bahwa hal yang sama tidak dapat dikatakan mengenai dokter spesialis kulit dan kelamin.

Ditemui di konferensi pers Kongres Nasional XV Perdoski 2017 yang diadakan di Semarang, Rabu (11/8/2017) dan didukung oleh L’Oreal, Dr Syarief Hidayat, SpKK, FINSDV, FAADV, selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Perdoski berkata bahwa pada saat ini, baru ada sekitar 1.400 dokter spesialis kulit dan kelamin di seluruh Indonesia.

Dirilis kompas.com, walaupun jumlah tersebut lebih banyak dari Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura; tetapi dokter spesialis kulit dan kelamin biasanya berkumpul di kota-kota besar saja sehingga distribusinya belum mencukupi.

“Nah, yang marak sekarang adalah klinik-klinik estetika yang dijalankan oleh orang-orang yang bukan dokter spesialis,” kata Dr Syarief.

Dia melanjutkan, titel-titel (dokter spesialis) itu kan kompetensi ya. Kompetensi didapatkan melalui proses pendidikan yang kurikulumnya sudah terakreditasi, institusinya sudah terakreditasi, dan proses pendidikannya juga terakreditasi.

Setelah melewati semua proses ini, barulah seseorang bisa dikatakan berkompetensi sesuai dengan standar yang tercatat dalam buku kompetensi dokter spesialis kulit dan kelamin Indonesia.

“Jadi, istilah dokter estetika itu sebetulnya tidak ada. Nonmenklaturnya tidak ada di pendidikan tinggi,” ucap Dr Syarief.

Dia melanjutkan, kalau kursus ke Hongkong satu bulan atau dua minggu lalu kembali ke sini sebagai dokter estetika, sebetulnya mereka bukan dokter, tetapi tukang. Tukang laser, tukang peeling, (dan) tukang botox.

Menurut Dr Syarief, yang menjadi permasalahan adalah ketika “dokter-dokter estetika” ini melakukan tindakan medis di luar kompetensi. “Itu sebetulnya malpraktek. Masalahnya, pasien estetika ini tidak mau bicara mengenai adanya malpraktik,” katanya.

Akan tetapi, Perdoski tidak memiliki wewenang untuk menindak mau pun melarang hal tersebut. Wewenang ini berada di tangan Dinas Kesehatan.

Untuk saat ini, yang dapat dilakukan oleh Perdoski adalah melaporkannya ke Dinas Kesehatan apabila ada klinik estetika yang dirasa menganggu masyarakat.//delegasi (kompas.com)

Komentar ANDA?